Friday, November 23, 2007

Kota "Prospektif" Kapur

Pembentukan wilayah baru, provinsi, kabupaten, atau kecamatan diyakini akan berdampak pada kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Kemajuan pertama akan cepat terasa di ibu kota wilayah baru itu. Oleh karena itu konflik sering terjadi dalam penentuan letak ibu kota.

Masih segar dalam ingatan, ada wacana Kabupaten Bangka akan dibelah menjadi Kabupaten Bangka dan Bangka Selatan ketika masih berada di bawah Provinsi Sumatera Selatan. Perebutan ibu kota di Toboali atau di Koba memupuskan harapan semua pihak. Untunglah kemudian Bangka Belitung menjadi provinsi. Peluang membentuk kabupaten baru yang lebih banyak terbuka lebar. Toboali dan Koba nyata menjadi ibu kota, puaslah masyarakat kedua kota tersebut.

Sekarang di Kabupaten Bangka mencuat kembali keinginan besar masyarakat di wilayah Kecamatan Mendo Barat untuk membentuk kecamatan baru. Keinginan ini hampir terwujud pada penghujung tahun 2005. Namun perbedaan pendapat mengenai ibu kota kecamatan di Penagan atau di Rukam seperti mengulangi sejarah pembentukan Kabupaten Bangka Selatan tempo hari.

Akankah terjadi pembentukan kecamatan dengan ibu kota Penagan dan kecamatan dengan ibu kota Rukam, seperti Toboali dan Koba? Jangan mimpi! Kasusnya berbeda. Sangat mustahil hal itu terjadi. Satu-satunya cara salah satu pihak harus mengalah untuk kepentingan bersama. Seandainya tak mungkin terjadi karena berprinsip “lebih baik putih tulang daripada putih mata”, patut dipertimbangkan Kota Kapur sebagai ibu kota kecamatan prospektif. Mengapa?

Pasti semua orang keheranan kalau desa tertinggal versi Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Republik Indonesia itu dijadikan ibu kota kecamatan. Desa kecil dengan nama awal “Kota” ini luasnya hanya 18,38 km2, dengan jumlah penduduk sekitar 1.735 jiwa sedikit lebih luas daripada salah satu kandidat ibu kota yang diusulkan, Desa Rukam (15,50 km2). Jarak antara Kota Kapur dan Sungailiat (ibu kota Kabupaten Bangka) sekitar 80 kilometer.

Tidak ada yang istimewa pada Desa Kota Kapur. Malahan seorang warga masyarakat sempat pesimis mengatakan kepada penulis beberapa waktu yang lalu: “Kota Kapur tidak akan pernah makmur. Desa ini dikutuk penguasa zaman dulu. Masyarakat Kota Kapur hanya dapat hidup dari ‘cari sehari makan sehari’ alias hidup pas-pasan.”

Warga tersebut boleh pesimis, tetapi kita tidak. Kota Kapur menyimpan harta karun yang berlimpah. Perhatian kita yang kurang memadai terhadap sejarahlah yang menenggelamkan Kota Kapur. Selama ini pemahaman terhadap sejarah sangat membingungkan. Peristiwa sejarah yang terjadi di wilayah lain, dihormati dan dihargai dengan membangun monumen segala. Sedangkan peninggalan sejarah yang bertaraf internasional di negeri sendiri, seperti Kota Kapur, diabaikan.

Sesungguhnya Kota Kapur sudah pernah terkenal pada abad ketujuh masehi. Prasasti Kota Kapur (686 M) yang ditemukan Van der Meulen pada bulan Desember 1892, menunjukkan betapa pentingnya wilayah ini kala itu. Dapunta Hyang, penguasa Kadatuan Sriwijaya, sampai menempatkan prasasti persumpahan di sana. Tujuannya agar menjadi peringatan pada setiap orang di wilayah Sriwijaya (termasuk Kota Kapur) yang berangan-angan untuk memberontak terhadap kekuasaan Dapunta Hyang. Seandainya Kota Kapur dulu hanya sekecil dan sesederhana sekarang, tidak mungkin Dapunta Hyang mencemaskan kekuatan negeri di sungai Menduk ini.

Pada tahun 1983, Nia Kurnia Sholihat Irfan dalam bukunya "Kerajaan Sriwijaya, Pusat Pemerintahan dan Perkembangannya" berani mengungkapkan bahwa pada abad VII terdapat negeri Mo-ho-hsin di wilayah Kota Kapur sekarang. Keyakinan Nia tentang keberadaan negeri Mo-ho-hsin, didasarkan pada catatan I-tsing (pendeta Cina) bahwa setiap pelayaran dari Sriwijaya (Palembang) ke Jawa selalu melewati pantai barat Pulau Bangka dan singgah di negeri ini. Negeri Mo-ho-hsin terletak di mulut pelabuhan Sriwijaya.

Dari segi bahasa, nama Mo-ho-hsin mempunyai hubungan dengan kata Sansekerta, moha, yang artinya "bingung, linglung". Sekarang pulau ini bernama Bangka. Nama ini pun berarti "bingung", sehingga timbul istilah "tua bangka" untuk menyebut orang yang sudah tua sekali dan linglung.
Nia Kurnia menganggap Mo-ho-hsin merupakan salah satu negeri bawahan Sriwijaya yang cukup penting, sehingga raja Sriwijaya merasa perlu untuk menempatkan salah satu prasasti persumpahannya di sana. Tetapi Nia Kurnia tidak menjelaskan peran pentingnya tersebut.

Sekarang Kota Kapur hanya dikenal sebagai salah satu situs penting, yaitu lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya. Di era otonomi daerah ini situs Kota Kapur seperti makin terkubur. Mungkin dianggap mengurusnya tidak akan menambah pendapatan asli daerah. Belum terbayang, seandainya situs ini dikembangkan menjadi objek wisata budaya, maka ia akan mendatangkan devisa.

Situs Kota Kapur sangat prospektif untuk dikembangkan sebagai objek pariwisata, baik pariwisata budaya atau purbakala maupun pariwisata alam dan agro dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Temuan-temuan baru oleh tim peneliti Pusat Arkeologi tahun 1994 dapat memancing minat para arkeolog internasional untuk menyelami Kota Kapur lebih dalam lagi, sebagai upaya menguak tabir yang menyelimuti beberapa aspek arkeologis Sriwijaya. Situs ini jelas sangat penting untuk kajian arkeologis dan sejarah sekaligus asset yang dapat diandalkan dan diamankan.
2. Keunikannya berupa benteng tanah sepanjang satu setengah kilometer lebih, candi yang sangat tua, kolong timah yang luas dikelilingi perbukitan, maupun sungai yang lepas ke Selat Bangka, hutan bakau yang asri serta udara pantai yang segar di sela-sela pohon durian raksasa merupakan daya tarik yang amat kuat untuk menyedot wisatawan nusantara maupun mancanegara.
3. Prasasti Kota Kapur, patung Wisnu dan temuan lainnya yang kini menjadi koleksi Museum Nasional di Jakarta akan menggiring perhatian masyarakat dunia ke Pulau Bangka jika benda-benda arkeologis itu dikembalikan ke "rumah"-nya di Kota Kapur. Terutama perhatian bangsa-bangsa yang terkait dengan peninggalan sejarah itu, seperti bangsa Cina, Thailand, Vietnam dan lain-lain.

Sayang, Pemerintah Daerah dari masa ke masa belum tertarik melirik harta karun ini. Padahal berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA, Pemerintah Daerah Kabupaten dan Provinsi memiliki kewajiban mengurus (1) penerapan kebijakan perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan BCB/situs; (2) penetapan BCB/situs; (3) penerapan kebijakan penyelenggaraan dan pengelolaan museum; (4) penerapan pedoman penelitian arkeologi; (5) penerapan pedoman pendirian museum; (6) penerapan pedoman hasil pengangkatan peninggalan bawah air.

Memang tidak mudah mengubah hutan dan kelekak (taman buah-buahan, seperti durian, cempedak, dll.) di lokasi situs Kota Kapur menjadi sebuah panorama eksotis. Usaha penyelamatan candi Borobudur saja memerlukan waktu ratusan tahun sejak penemuannya pada tahun 1814 sampai peresmian selesainya pemugaran pada 23 Februari 1983. Yang jelas tidak akan mungkin terealisasi apabila rencana pengembangan pariwisata purbakala hanya sebatas masa jabatan Bupati atau Gubernur saja!
Momentum yang tepat untuk menggali harta karun Kota Kapur adalah ketika desa ini dijadikan ibu kota kecamatan. Dengan menjadi ibu kota, semua mata akan terarah ke sana. Desa Rukam dan Penagan yang akan dilalui ketika menuju Kota Kapur dengan sendirinya akan merasakan dampak kemajuan Kota Kapur. Namun apabila ibu kota kecamatan ditempatkan di desa yang lebih dekat ke arah Pangkalpinang, maka desa lain seperti Penagan dan Kota Kapur selamanya akan terkubur. Beranikah kita menepis mitos kutukan Kota Kapur? Wallahu a’lam!

No comments: