Saturday, July 14, 2007

Geleng

Aku terkejut membaca daftar nama caleg pada pemilu negeri Mo-ho-hsin tahun ini. Nama M@cver (baca: ma'per) berada pada urutan pertama di bawah tanda gambar Partai Paling Bohong. Heran, setahuku sebelum ini, sang raja dongeng dari negeri Mo-ho-hsin itu tidak suka berpolitik. Sehari-hari kerjanya hanya menghibur masyarakat dengan dongeng-dongeng segarnya di kedai-kedai kopi.
Yang lebih aneh lagi, nama partai dan lambangnya itu. Gambar "Burung Belatuk"! Nama dan lambang ini berkonotasi negatif: hanya pandai mengatakan "tahu", tetapi tidak pernah bisa berbuat. Itulah kesan pertamaku. Orang-orang partai ini tidak paham psikologi sosial, pikirku. Mereka tidak mengerti strategi pemasaran. Tidak bisa mengambil hati massa.
"Apa tidak ada nama lain?" tanyaku pada M@cver di sekretariat partainya.
"Apalah arti sebuah nama?" dia balik bertanya.
"Nama mencerminkan visi partai. Nama yang indah menawarkan harapan cerah."
M@cver tertawa. "Kamu masih terjebak dalam paradigma lama. Politik modern harus berbasis kerakyatan."
"Maksudnya?"
"Sebagai politikus kita harus tahu selera rakyat dan karakter politik bangsa."
"Justru itu! Rakyat kita sekarang mulai mendambakan kejujuran dan keadilan. Tetapi partaimu malah mengusung tema kebohongan. Apa bukan bunuh diri namanya?"
M@cver menepuk pundakku.
"Bat, bat …" katanya. "Kamu masih lugu seperti dulu. Kami paham betul, rakyat kita sangat mengharapkan kejujuran dan keadilan. Sebagai politikus kami juga mengerti, bahwa logika politik sering terbalik. Kamu tahu maksudnya?"
"Kalau kampanyenya memperjuangkan kepentingan rakyat, realisasinya menjadi lebih mementingkan diri sendiri dan atau golongan?"
"Betul. Betul sekali! Oleh karena itu kami kampanyekan bahwa partai kami adalah partai paling bohong. Kami yakin, banyak yang percaya para politikus sering sulit menepati janjinya. Berarti nanti kami menjadi polikus paling tidak bohong, alias paling jujur dan amanah."
"Bagaimana kalau kalian ternyata mampu menepati janji?" tanyaku menguji.
"Tak mungkin. Bangsa Mo-ho-hsin sudah ditakdirkan sebagai bangsa pelupa. Begitu mudah mengucapkan janji, lebih mudah lagi untuk melupakannya."
Sebagai bagian dari bangsa Mo-ho-hsin, malu juga rasanya dicap sebagai bangsa pelupa. Tapi apa boleh buat, memang begitu adanya. Sejak dahulu kala karakter bangsa Mo-ho-hsin tidak pernah berubah. Pada saat berjuang, sangat mahir meneriakkan slogan-slogan moralis. Namun setelah mendapat kedudukan, fasilitas pribadilah yang selalu dikais.
Kampanye pemilu dan pemungutan suara di negeri Mo-ho-hsin kali ini berlangsung damai dan simpatik. Tak ada darah yang tumpah. Tak ada jiwa yang terjajah. Beda sekali dengan pemilu-pemilu sebelumnya, ketika Jenderal Tandrun Luah masih berkuasa. Waktu itu hanya partai Tandrun Luah saja yang bebas berkampanye. Partai lain selalu dipojokkan dan dicekal. Bahkan seorang pejuang rakyat bernama Kandra Kayet dibuang ke pulau terpencil karena mendukung partai lain.
Para pengamat politik dalam dan luar negeri terkecoh. Di luar dugaan sama sekali, partai M@cver berhasil meraup suara terbanyak. Lebih dari tiga puluh persen rakyat negeri ini menitipkan suaranya kepada Partai Paling Bohong, dengan harapan di "Pondok Demokrasi" nanti suara mereka berkumandang merdu.
Rakyat negeri Mo-ho-hsin mulai lebih percaya kepada wajah baru daripada para politikus senior yang telah terbukti ingkar janjinya. Mereka tak terlalu peduli apakah calon yang dipilih itu berdaya ingat kuat atau lemah. Yang penting beda! Rakyat sudah bosan hidup susah. Sudah lelah antre solar dan minyak tanah. Makin berat membayar uang sekolah.
Sebagai pendatang baru di "Pondok Demokrasi", M@cver berusaha tampil prima. Reputasinya sebagai raja dongeng harus dipertahankan. Para penggemarnya pasti kecewa kalau dia gagal menjalankan misinya: membuat maya seolah nyata!
Pada bulan keenam M@cver duduk di kursi legislatif, dia didemonstrasi para pendukungnya.
"Hai M@cver, mana kinerjamu?!" kata juru bicara demonstran.
"Sabar, Saudara-saudara…" M@cver berusaha menenangkan massa yang berdemonstrasi tanpa mengindahkan tata krama dan nilai-nilai budaya bangsa itu. "Sekarang ini saya baru beradaptasi. Berubah dari sebagai pendongeng menjadi anggota legislatif tidak semudah menelan ludah."
Untunglah kharismanya sebagai raja dongeng masih kuat. Para demonstran bayaran itu dapat memahami kondisi M@cver sekarang. Memang benar dia perlu waktu untuk menyesuaikan diri. Terlalu kejam menggugat kinerja M@cver pada waktu sesingkat ini.
Masyarakat negeri Mo-ho-hsin kembali ke kampung masing-masing. Mereka kembali sibuk dengan aktivitas sehari-hari. Sebagian besar masyarakat negeri Mo-ho-hsin bekerja sebagai pencari cacing tanah alias geleng. Invertebrata yang termasuk kelompok annelida ini sangat digemari bangsa Fo-shih, negeri di seberang lautan. Rasanya lezat dan bergizi tinggi. Khasiatnya dahsyat, dapat membuat pria lebih perkasa di hadapan wanita serta mampu meningkatkan kecerdasan otak dan daya ingat.
Walaupun demikian rakyat negeri Mo-ho-hsin tidak pernah mengkonsumsinya. Sehingga sampai sekarang bangsa ini tetap lekat dengan predikat bangsa pelupa. Sebagai komoditas ekspor, harga cacing tanah sangat mahal sedangkan daya beli rakyat sangat rendah. Supaya terkesan konstitusional, nenek moyang mereka mengutuk bangsa Mo-ho-hsin dan seluruh keturunannya yang berani makan geleng.
"Barang siapa di antara bangsa Mo-ho-hsin dan segenap anak cucu keturunannya makan geleng, maka dia akan menjadi raja jungur yang berprilaku rakus dan suka menghalalkan segala cara!" begitu bunyi prasasti persumpahan yang dipasang di tempat-tempat strategis di seluruh penjuru negeri.
Dulu hewan ini dilindungi pemerintah. Masyarakat tidak boleh memburunya. Hanya perusahaan milik pemerintah dengan hak monopoli saja yang boleh mengeksploitasinya secara besar-besaran, sehingga menimbulkan kerusakan hutan dan lingkungan hidup. Pada sebagian besar permukaan bumi negeri Mo-ho-hsin menganga megalubang bekas penggalian geleng.
Tetapi sejak terjadinya revolusi budaya di negeri Mo-ho-hsin, rakyat bebas berburu geleng. Pemerintah pasca-revolusi budaya beranggapan bahwa segala yang ada di bumi dan di dalam tanah diciptakan Tuhan semata-mata untuk kesejahteraan manusia. Oleh karena itu rakyat dipersilakan menangkap geleng sebagai salah satu ciptaan Tuhan. Apalagi lapangan pekerjaan lain sebagai alternatif semakin langka. Di samping itu, hasil perkebunan Puren harganya makin merosot. Banyak petani Puren kemudian beralih profesi menjadi pencari geleng.
Keasyikan memburu geleng membuat rakyat lupa pada M@cver, anggota legislatif pilihan mereka. Tak terasa sudah empat tahun M@cver berkiprah di dunia politik. Selama itu dia tidak pernah mengunjungi para pendukungnya. Entah apa yang dikerjakan M@cver di gedung "Pondok Demokrasi" itu, tidak ada lagi yang peduli. Mungkin dia termasuk salah satu anggota legislatif yang melegalkan perburuan geleng secara bebas, sehingga kerusakan lingkungan semakin parah.
Rakyat seolah-olah baru terbangun dari tidur panjang ketika tiba-tiba M@cver muncul di desa mereka. Sang raja dongeng itu membawa ratusan paket sembako dan kaos partai.
"Hai, rakyat pendukung setiaku, sekarang saya datang membawa harapan baru!" teriak M@cver menggunakan alat pelantang suara dari atas mobil kredit. Beberapa anggota Tim Suksesnya membagikan paket sembako dan kaos kepada hadirin.
Para tokoh masyarakat mengucek-ngucek matanya. Setengah tak percaya mereka memperhatikan wajah M@cver. Banyak perubahan pada diri sang raja dongeng itu. Jasnya tampak terlalu sempit membungkus perutnya yang sudah buncit. Mobil kreditnya yang baru lunas setahun lagi itu masih mengilap, kontradiktif dengan kaki-kaki rakyatnya yang baru pulang dari mencari geleng.
Kemiskinan masih tetap setia memeluk kehidupan rakyat negeri Mo-ho-hsin yang diwakili M@cver. Perburuan bebas geleng selama ini hanya menguntungkan para pemilik modal dari luar negeri. Rakyat setempat hanya sebagai kuli dengan penghasilan dapat sari makan sari. Sangat tidak sebanding dengan kerugian berupa kerusakan lingkungan yang merupakan titipan anak cucu itu.
"Hai M@cver, sekarang sudah waktunya kamu menunjukkan kinerjamu sebagai anggota legislatif! Apa yang telah kamu lakukan untuk kemajuan negeri ini?" tanya tokoh masyarakat.
"Sabar, Saudara-saudara…" M@cver merayu para tokoh masyarakat yang mulai beringas. "Sekarang ini saya sedang melakukan konsolidasi. Partai kita harus lebih kuat menghadapi pemilu mendatang. Mengubah kemelaratan menjadi kemakmuran tidak semudah menelan ludah..."
Fuih! Seluruh hadirin meludah ke tanah.
"Bangsat kau M@cver! Empat tahun menjadi anggota legislatif telah mengubah kepribadianmu. Kamu telah tercabut dari akar budaya bangsa Mo-ho-hsin. Identitas sebagai bangsa pelupa sudah hilang dari dirimu. Sekarang kamu sudah berubah menjadi seorang yang sangat ingat pada janji: paling bohong! Pasti kamu telah melanggar sumpah leluhur: makan geleng!"
"Maaf, maaf, Saudara-saudara…" M@cver tergagap.
Kesabaran rakyat hilang ditiup angin. Ucapan M@cver tidak didengar lagi. Massa ramai-ramai melempar M@cver dengan paket sembako dan kaos partai.
"Makanlah sendiri sembako dan kaos ini, raja jungur!" teriak massa makin ganas.
M@cver mengambil jurus langkah seribu tambah sejengkal. Dia lari dan sembunyi di rumahku.
"Bat, tolong Bat. Rakyat mengamuk," kata M@cver gemetar.
"Benarkah kamu sudah makan geleng?" tanyaku menyelidik.
"Sumpah. Tidak pernah. Jangankan makannya, melihatnya saja aku jijik."
"Kalau begitu apa dosamu?"
"Mungkin inilah hukum karma. Dulu aku sering membuat orang mengantuk ketika mendengar dongenganku. Sekarang, di ruang sidang anggota legislatif, aku selalu mengantuk ketika membahas masalah rakyat. Bat, sungguh, menjadi pendongeng ternyata lebih bahagia daripada sebagai anggota legislatif!"
Hari itu juga M@cver memutuskan mundur sebagai anggota legislatif. Aku tidak tahu bagaimana caranya dia melunasi sisa kredit mobilnya nanti.<
Sungailiat, 10 Desember 2005

surtam@amin
081367660525
Jl.Sinar Baru No.24 Sungailiat Bangka 33212
surtam@bangka.go.id























No comments: