Saturday, July 14, 2007

Tatkala Aku Ingin Membunuh Isteri dan Anak-anakku

Sudah tiga hari aku merasa makan tak enak, tidur tak nyenyak, dan… (maaf: tak lancar berak!). Tragedi yang menimpa M@cver, sahabat sejatiku, tiga hari lalu masih terus mengusik pikiranku. Dewan Perwakilan Desa Batumpep menolak pencalonan M@cver sebagai Sekretaris Desa dengan alasan primordialis dan diskriminatif. Dia tidak dilahirkan di desa Batumpep!
"Padahal aku tidak pernah memilih lahir di kota," keluh M@cver. "Sejak benih ayahku tumpah di rahim ibuku sampai lima jam sebelum aku ditakdirkan melihat dunia ini, proses penciptaanku sebagai manusia berlangsung di desa Batumpep."
Sambil mengusap keningnya yang makin melebar, M@cver mengenang saat-saat kritis yang dialami ibunya menjelang ia dilahirkan. Waktu itu Batumpep baru berupa desa kecil. Tidak ada puskesmas, apalagi rumah sakit.
Menjelang tengah malam perut ibu M@cver terasa sakit luar biasa. Pandangannya gelap, segelap alam malam itu. Di desa Batumpep belum ada listrik, sehingga masyarakatnya tidak pernah bertanya kepada para tetangga: "kapan giliran kita mati lampu lagi?!"
Di tengah gelapnya malam, ayah M@cver berlari ke rumah dukun beranak. Hanya dukun inilah satu-satunya tenaga ahli untuk menolong kelahiran bayi di desa.
"Wah! Banyak sekali keluar darah. Sebaiknya dibawa ke rumah sakit!" saran dukun beranak.
Berkat bantuan Kepala Desa, satu-satunya warga yang punya mobil ketika itu, ibu M@cver dievakuasi ke rumah sakit di kota malam itu juga. Dengan susah payah tim dokter rumah sakit milik perusahaan timah berhasil mengeluarkan M@cver dari perut ibunya. Tiga hari kemudian, M@cver dan ibunya kembali ke desa. Mengembuskan separuh, eh seluruh napasnya di desa Batumpep. Tetapi pada surat kelahirannya tertulis: lahir di kota!
Petaka itu tiba
Tiba-tiba datang atas dasar trauma
Luka goresan penguasa nepotis masa lalu
Mengunjam dendam, mengukir nepotisme baru.
"Begitulah Bat, situasi sosial di desa kita saat ini," kata M@cver agak pesimis. "Berhati-hatilah! Sebagai pegawai pemerintah, urat lehermu akan selalu diintai wabah primordialisme itu. Bisa saja suatu saat nanti sebagai persyaratan menduduki jabatan tertentu, seseorang beserta istri dan anak-anaknya harus manusia asli desa Batumpep!"
Celaka!
Istriku berasal dari Pulau Jawa, otomatis anak-anakku tidak asli lagi manusia desa Batumpep. Berarti karirku sebagai pegawai pemerintah terancam! Sebentar lagi orang-orang asli desa Batumpep berbondong-bondong menyerbu kantorku. Mereka mendesak agar aku segera menyerahkan kursi yang kududuki sekarang kepada manusia asli desa Batumpep. Aku bingung, antara merelakannya begitu saja dengan harus mempertahankannya demi kehormatan dan masa depan. Harga sebuah kursi terasa begitu mahal!
Aku mengadu kepada atasanku.
"Arus primordialisme saat ini memang sangat dahsyat," komentar atasanku. "Kita tidak punya kesempatan mengelak lagi, selain memilih: tenggelam atau mengikuti arus itu."
"Maksud Bapak?"
"Kamu harus tegas. Tinggalkan jabatanmu atau tetap bertahan dengan syarat: bunuh istri dan anak-anakmu!"
Aku harus membunuh istri dan anak-anakku?
Tiga hari aku merasa makan tak enak, tidur tak nyenyak, dan tak lancar berak!
Aku ingin membunuh istri dan anak-anakku!
Tekadku sudah bulat. Rasanya jabatan lebih penting daripada segalanya. Dengan menduduki jabatan tinggi aku akan mendapat berbagai fasilitas. Mulai dari nasi, baju, kendaraan sampai rumah dinas. Di samping itu pada setiap menjelang lebaran aku pasti mendapat kiriman banyak parcel, bingkisan, amplop dan sebagainya dari para bawahan dan rekanan. Para pembohong, eh pemborong, berduyun-duyun menyalurkan 'zakat mal'-nya kepadaku pada setiap akhir Romadhon. Fasilitas itu mustahil tersedia jika aku hanya sebagai pegawai kecil dan biasa-biasa saja. Memang enak!
Tetapi sebagai seorang yang sejak kecil sudah belajar hidup demokratis aku tidak mau mengambil keputusan sendiri. Segala sesuatunya harus aku musyawarahkan dengan para korban. Istri dan anak-anakku!
"Wahai istri dan anak-anakku," kataku seusai sholat maghrib berjamaah. "Aku mendapat bisikan dari hati kecilku tentang sesuatu yang menyangkut kalian semua. Tapi aku merasa berat mengatakannya."
"Wahai suamiku, kami ini ada di sisimu hanyalah untuk meringankan urusanmu. Janganlah ada satu kata membuat lidahmu kelu."
Aku percaya, kalau istriku pasti setuju apa saja yang kuinginkan. Selama dua puluh tahun kami berumah tangga dia belum pernah sepatah kata pun membantah ucapanku. Baginya, suami ke surga dia ikut, suami ke neraka juga nurut.
Yang sukar diduga justru anak-anakku. Terutama si Hafiy, putri sulungku. Sebagai perempuan yang lahir pada hari Selasa Legi, dia berwatak keras dan suka mau benar sendiri. Sering kali dia berusaha memaksakan pendiriannya kepada orang lain.
"Bagaimana pendapatmu, Hafiy?" tanyaku hati-ahti.
"Katakan saja, Bapak."
Aku merenung sejenak. Menimbang-nimbang, perlu tidaknya berterus terang kepada mereka.
"Baiklah, istri dan anak-anakku. Sudah tiga hari ini aku ingin membunuh kalian semua."
"Apa?!"
"Aku ingin membunuh kalian. Istri dan anak-anakku! Bagaimana menurut kalian?"
Istriku tertunduk. Setitik air matanya tumpah, membentuk aliran sungai menyusuri kerut pipinya. Tak ada kata yang terucap. Hanya ada sejuta makna terungkap dari diamnya. Bahwa vonis itu terasa berat baginya, namun sebagai istri yang baik dia wajib patuh pada perintah suami. Falsafah dari ibunya, ibunya dari ibunya lagi, dan seterusnya itu mengubah sebutir air matanya yang pekat menjadi sesungging senyum bening.
Aku tak perlu mendengar suara istriku. Senyum dan sorot matanya yang teduh telah cukup memberi tanda kepasrahannya.
"Hafiy bagaimana?"
"Apa alasan Bapak ingin membunuh kami?"
"Bapak akan kehilangan jabatan apabila tidak membunuh kalian."
"Wahai Bapak! Kalau menurut Bapak jabatan itu lebih penting dan berkuasa daripada tuhan, silakan Bapak cabut urat leher saya." Kata Hafiy pasrah, sambil menyodorkan lehernya ke hadapanku, sepasrah Ismail tatkala Ibrahim menyampaikan perintah Allah melalui mimpinya kepada anak kesayangannya itu.
Satu rintangan berat telah sukses kulalui.
Masih ada satu pendapat lagi ingin kudengar. Dari Roy, anak bungsuku. Tidak berat kurasa. Dia baru berumur delapan tahun dan sekolah di kelas tiga SD. Keberaniannya tak akan cukup untuk menentangku. Lagi pula akhir-akhir ini dia sedang gemar main mobil-mobilan tamiya. Jauh dari sifat dan sikap kekerasan.
Dulu dia suka main pistol-pistolan. Waktu itu sikapnya memang agak beringas. Biasalah bagi orang yang memiliki pistol. Gatal tangannya kalau tidak menembak. Sedikit-sedikit mencari gara-gara agar ada alasan untuk memuntahkan peluru. Kalau lawannya cukup tangguh, mengajak kawan-kawan pakai truk untuk mengeroyok lawan! Untunglah, sejak banyak anak-anak menjadi korban pistol mainan, anakku itu beralih hoby. Sekarang anakku itu berubah menjadi anak manis, anak mama.
"Kamu bagaimana Roy?" tanyaku sekadarnya.
"Bagaimana apa?"
"Kamu setuju kalau Bapak bunuh?"
"Bapak mau membunuh saya?"
"Ya, sayang."
"Bapak serius?!" Roy membentak.
Dilemparnya kopiah dari kepalanya. Dia berdiri, mengencangkan ikatan kain sarungnya. Wajahnya berubah. Merah. Rambutnya berdiri seperti sikat kloset. Tangannya diletakkan di pinggang.
"Tolonglah sayang, izinkan Bapak membunuhmu!" rayuku.
"Sebagai anak, saya wajib patuh pada perintah Bapak. Tapi alasan Bapak ingin membunuh saya sangat tidak bisa diterima peradaban masa kini dan esok."
"Kamu tahu apa tentang peradaban anakku?! Sebenarnya Bapak bisa saja langsung membunuhmu tanpa persetujuan. Bapak berkuasa di rumah ini. Semua ini Bapak lakukan semata-mata demi demokrasi. Supaya terlihat seolah-olah Bapakmu ini seorang demokrat sejati."
Roy berlari ke kamarnya. Hanya sebentar. Kemudian dia muncul lagi sambil menggenggam pistol mainan meniru gaya Pierce Brosnan dalam film Die Another Day yang baru ditontonnya dari VCD bajakan seminggu lalu.
"Ambisi Bapak mengejar jabatan logis saja," teriak Roy marah. "Ketakutan Bapak kehilangan jabatan hanya karena Bapak berada dalam lingkungan keluarga bukan orang asli desa, itulah yang saya tentang."
"Ini kenyataan dan sedang populer, Roy. Seluruh masyarakat menuntut hal itu."
"Itulah celakanya masyarakat desa Bapak."
"Hus! Jangan sembarangan ngomong kamu!"
"Bapakku, sadarilah. Arus globalisasi tak dapat dihindari. AFTA*) sudah di depan mata. Sebentar lagi batas dunia hanya setebal kulit bawang. Kalau Bapak dan masyarakat desa Batumpep masih tetap berpola pikir seperti sekarang ini, kehidupan Bapak seperti diujung ragum. Ruang gerak Bapak semakin sempit. Dihimpit budaya dan politik global."
Heran, dari mana anak ini mendapat pengetahuan semacam itu. Teknologi informasi dan komunikasi pasti telah meracuni pikirannya. Aku tidak boleh membiarkan dia lebih brutal lagi. Aku harus segera membunuhnya! Segera!
Aku melompat ke arah Roy dengan jurus cakar harimau.
Tetapi… sseert! Cairan pedas dan panas yang muncrat dari pistol mainan Roy lebih cepat menusuk bola mataku. Seketika dunia menjadi gelap.
"Maaf, Bapak! Air cabe bercampur bubuk sahang ini semula untuk menembak para pencuri kalau-kalau masuk rumah kita. Karena Bapak telah mencuri kebenaran dari kehidupan kami, maka Bapak ternyata lebih layak menjadi sasaran pertama." ujar Roy bangga.
Aku terkapar. Tak dapat melihat apa-apa lagi untuk selama-lamanya. Mungkin ini lebih baik bagiku, agar tidak terjerumus ke dalam keserakahan yang lebih rakus lagi. Atau paling tidak, agar aku tidak usah risau menanti giliran mati lampu!

Batumpep, 25 Desember 2002
*)ASEAN Free Trade Area
Surtam A Amin
Jl.Sinar Baru 161 A
Sungailiat Bangka 33212











































































No comments: