Saturday, July 14, 2007

Pulang!

Masih gelap.
Kelam bukan malam.
Sepi tidak senyap.
Aku rasakan detak jantung bagai tabuhan perkusi. Dengus napas seperti desir pasir ditiup angin pesisir. Berenang di ruang hampa, melayang tanpa beban. Tidak makan, tanpa terasa lapar.
Setitik cahaya menusuk pandangan. Tidak panas, malah menyejukkan.
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" tanya suara merdu, entah dari mana.
"Benar!" jawabku tanpa ragu. "Kami menjadi saksi, agar nanti kamu tidak mengatakan: sesungguhnya kami tidak diberi peringatan terhadap hal ini."1)
Kembali gelap.
Hari berganti minggu. Minggu beralih bulan. Tak terasa sudah sembilan bulan aku berada di alam gelap ini. Aku ingin sekali keluar. Menyaksikan alam lain yang belum kukenal. Mencoba menantang kehidupan sarat intrik dan konflik.
Dengan menerobos lorong sempit dan menyibak hutan lebat, aku terpental keluar gua gelap. Matahari hangat menyengat. Aku mengernyit sambil menjerit. Ujian pertama kuhadapi. Ternyata alam lain yang belum kukenal ini tidak seramah anggapanku semula. Menyesal rasanya aku menuntut hijrah ke alam fana ini. Tapi terlambat. Arang sudah jadi abu.
"Terimalah takdirmu!" sabda suara merdu seperti dulu itu. "Di depanmu terbentang tiga jalan. Terserah padamu ke mana engkau mau. Sebagai pedoman, bacalah kitab ini…"
Sebuah kitab tebal terbentang di hadapanku.
"Apabila kamu mengikuti petunjuk di dalam kitab itu, niscaya kamu tidak akan tersesat sampai pulang kembali nanti!"
Sekilas aku membaca isi kitab itu. Bahasanya puitis. Tuntunannya praktis. Setiap jalan dibentang dengan terang. Sangat jelas beda jalan mulus dan jalan lumus. Jalan mulus dilengkapi dengan berbagai rambu-rambu berupa suruhan, peringatan, dan larangan agar selamat sampai ke tujuan dan pulang kembali ke tempat asal. Sedangkan jalan lumus menawarkan kebebasan dan kenikmatan.
Aku berpikir sejenak. Ah!
"Kenapa repot-repot? Jalan lumus lebih gampang. Lempang tanpa ugeran yang mengekang. Bebas tanpa batas akhir perjalanan," bisik suara lembut merayu.
"Tapi suatu saat aku harus pulang."
"Untuk apa?"
"Aku telah berjanji, nanti akan menghadap pemberi kitab ini."
"Bodoh. Kitab syair itu pembatas kebebasan. Padahal kamu juga bisa menulis puisi yang lebih indah dan memikat hati para pembaca dan pendengar."
"Aku juga bisa?" tanyaku pada angin.
Angin lelah bertiup. Pertanyaanku tersekat di jakun. Tak ada yang mendengar.
"Aku juga bisa!" aku menjawab sendiri pertanyaanku.
Kitab pedoman aku tinggalkan. Aku berjalan menuruti kata hati, menyusuri jalan lumus. Jalan bebas tanpa batas. Di jalan ini aku mereguk setiap keindahan yang kujumpai. Melalui jalan ini aku mencari dan terus mencari kenikmatan, walaupun kadang-kadang hanya fatamorgana.
Matahari adil membagi cahaya. Jalan mulus maupun jalan lumus mendapat sinarnya. Proporsional, tidak merata. Kadang-kadang aku merasa iri melihat matahari. Dia jujur, transparan, dan konsisten.
Matahari tidak pernah berbohong, sehingga anak kecil pun tahu persis, dari mana ia akan terbit dan ke mana ia akan tenggelam sesuai jadwal yang telah ditentukan. Matahari selalu terbuka, tidak merahasiakan aktivitasnya setiap hari, sehingga siapa pun dapat mengamati gerak-geriknya tanpa merasa risih, was-was dan curiga pada pihak lain. Matahari sangat konsisten, amat patuh pada perintah sang penciptanya. Sejak dulu sampai sekarang tidak pernah melanggar perintah, untuk sekali-sekali sebagai selingan saja, mencoba terbit dari ufuk Barat dan tenggelam di ufuk Tenggara misalnya.
Aku makin mantap melangkah. Di jalan lumus tanpa aturan aku lebih leluasa menjala matahari dan menangguk udara. Hati bebas percaya tidak percaya pada kepercayaan apa pun. Otak bebas bepikir untuk memikirkan yang tak terbayangkan.
Hari-hari kulalui penuh inspirasi. Imajinasiku melayang seperti elang. Kreativitasku terpacu. Jutaan puisi kuciptakan. Jutaan manusia membaca puisiku. Jutaan pujian kudapatkan. Jutaan hati terpikat pada puisi-puisiku. Jutaan kaki terseret, melangkah bersamaku pada satu jalan.
"Kamu sangat luar biasa!" puji mereka.
"Tidak juga," kataku merendah.
"Betapa tidak, kaki-kaki yang lumpuh tiba-tiba sembuh setelah membaca puisimu."
"Hati-hati yang patah merekah berbunga-bunga mendengar puisimu dibacakan."
"Otak tegang menjadi tenang."
"Mata buta dapat melihat."
"Pohon-pohon ranggas berbuah lebat."
"Orang-orang mati hidup kembali!"
Aku terlena dilambung sanjung. Aku silau sorot lampu panggung. Diam-diam aku merasa, aku memang hebat. Aku merasa puisiku lebih hebat daripada syair yang ditulis pada kitab dulu itu. Semakin enggan aku membaca kembali kitab pertama yang kuterima. Aku semakin yakin, kitab puisi tulisanku sendiri mengandung mukjizat lebih dahsyat. Puisiku bukan sekadar syair, tapi mengandung magnet seperti sihir.
Perjalananku makin jauh. Sepanjang jalan yang kulalui tak satu pun penghalang menghadang. Aku benar-benar bebas melangkah. Merdeka berpikir. Leluasa berkarya. Aku berjalan terus tanpa garis finish untuk berhenti.
Entah sudah berapa lama aku berjalan. Entah sudah berapa jauh tempat asal aku tinggalkan. Aku tidak mampu lagi menghitungnya. Dan entah mengapa, kini tiba-tiba aku merasa lelah? Lelah merasa. Lelah berpikir. Lelah berkarya. Lelah berjalan. Dan lelah segalanya!
"Kamu hampir sampai di ujung jalan," kata suara dari langit.
"Jalanku tak ada ujung."
"Kamu harus pulang, sesuai janjimu dulu!"
"Aku telah melupakannya."
"Bibir, otak, kaki, dan tanganmu lupa. Tapi sekeping daging di dalam dadamu yang bernama hati itu sebenarnya tidak. Dia sekali-sekali ingat padaku, pada tempat asalmu, dan pada tempat kamu harus kembali."
"Ah, omong kosong apa lagi ini?" tanyaku kebingungan. "Dari mana kamu tahu semua itu?"
"Apa kamu tidak malu pada matahari?"
"Matahari? Ah, dia itu makhluk totol dan tidak kreatif."
"Dia itu makhluk paling setia pada komitmen, sehingga dia abadi. Bandingkan dengan manusia. Mereka sering ingkar. Mereka diciptakan sebagai pemimpin di muka bumi. Tetapi kemudian, mereka mengingkarinya, berubah menjadi perusak bumi. Kini mereka rasakan akibatnya, alam melawan."
"Aku tidak seperti mereka. Aku memberikan manfaat pada kehidupan. Yang tidak mungkin, menjadi nyata."
"Kamu lebih menyesatkan."
"Buktinya?"
"Puisi-puisimu mengandung sihir. Kata-kata dalam puisimu sarat manipulasi makna. Kamu mengada-adakan yang tiada. Dan menafikan yang sesungguhnya ada. Kamu juga terlalu berani menjamakkan yang tunggal. Kamu sudah melampaui batas. Kamu harus diberi peringatan!"
Kilat melukis langit. Petir membelah mendung. Awan gelap pecah. Gunung berapi muntah. Topan melesus. Sungai-sungai dan laut pasang. Pohon-pohon tumbang. Alam kembali ke asalnya, satu wujud tunggal. Hanya ada satu pemandangan, hamparan air luas dan dalam. Atau hanya setitik air saja, bila dipandang dari atas yang maha besar.
Dari celah-celah molekul H2O yang membentuk air itu, aku mencoba mengintip deklamasi alam. Terasa sekali keindahan aslinya dengan hakikat makna tanpa manipulasi. Tidak ada desah angin yang mencemari kejernihan bunyi. Tidak ada gas CO2 dalam konsentrasi tinggi yang mengganggu pernapasan.
Ternyata puisi-puisiku tidak ada artinya dibandingkan sajak alam ini. Barangkali inilah syair terindah yang pernah tercipta.
"Bukan!" bantah suara dari langit. "Itu belum seberapa. Coba simak lirik berikut ini…"
Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo'a kepada Kami
dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi
setelah kami hilangkan bahaya itu darinya, dia kembali melalui
jalan yang sesat, seolah-olah dia tidak pernah berdo'a kepada Kami 2)

Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan
umat-umat sebelum kamu, ketika mereka berbuat kezaliman 3)

Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti
mereka di muka bumi 4)
Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu
supaya kamu dapat menjadi pelajaran
bagi generasi sesudah kamu 5)

Astaga! Alangkah indahnya untaian kata dalam syair itu. Aku belum pernah membaca karya sastra sehebat ini.
"Dari buku antologi mana syair itu kamu kutip?" tanyaku penasaran.
"Jangan sembarangan. Itu bukan syair, bukan pula sihir!"
"Lantas siapa penggubahnya?"
Air yang tenang mulai bergelombang. Pohon-pohon rindang bermunculan. Burung-burung terbang melayang. Angin bertiup perlahan-lahan. Mereka melantunkan nyanyian alam. Iramanya merdu mendayu. Melodinya harmonis. Liriknya puitis:
Dialah Allah,
tiada Tuhan melainkan Dia,
Dia mempunyai al asmaaul husna 6)

Astaghfirullah! Aku baru ingat sekarang. Untaian kata itu pernah kubaca dalam kitab pertama yang kuterima, tatkala aku baru tiba di alam ini dulu. Aku menyesal mengapa kemudian aku melupakannya. Rasa rindu mengajakku kembali. Pulang!
Tetapi masih adakah pintu ampun untuk diketuk?
Di pintu-Mu aku terantuk
Malu mengetuk wajah tertunduk
Tiap musim tiba kuucapkan sama
Minta maaf tanpa rasa bersalah
Tiap musim berlalu kuulangi dosa
Membuat maksiat seolah-olah sah
Di pintu-Mu aku tersipu
Betapa sulit punya rasa malu.

Tangan maha besar merenggut tubuhku dari genangan air.
"Inilah takdirmu. Rauplah air itu ke wajahmu. Wudhu!"

Sungailiat, 27 Januari 2002 - 1 Desember 2003
Catatan:
1)Q.S. Al A'raf: 172
2)Q.S. Yunus: 12
3)Q.S. Yunus: 13
4)Q.S. Yunus: 14
5)Q.S. Yunus: 92
6)Q.S. Thaaha: 8

No comments: