Saturday, July 14, 2007

Mutu dan Anggaran Pendidikan

Bangsa Indonesia masih menghadapi berbagai masalah di bidang pendidikan. Salah satunya adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan.

Secara umum, mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau tersirat. Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan.

Masyarakat biasanya menilai mutu pendidikan hanya dari aspek output pendidikan saja. Output pendidikan merupakan kinerja sekolah. Output sekolah dikatakan berkualitas/bermutu tinggi jika prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa, menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam: (1) prestasi akademik, berupa nilai ulangan umum, UAN, karya ilmiah, lomba-lomba akademik; dan (2) prestasi non-akademik, seperti IMTAQ, kejujuran, kesopanan, olahraga, kesenian, keterampilan kejuruan, dan kegiatan ekstra kurikuler lainnya.

Kecemasan kita, siswa, guru, orang tua, dan seluruh masyarakat menghadapi Ujian Akhir Nasional (UAN) 2004 merupakan indikasi pengakuan bersama betapa rendahnya mutu pendidikan kita selama ini. Kita khawatir, ketika standar mutu dinaikkan secara mendadak anak-anak kita belum siap menggapainya.

Hal itu terjadi karena selama puluhan tahun kita dimanjakan dengan "ketidakjujuran pendidikan". Pendidikan kejujuran yang diajarkan di sekolah kontradiktif dengan prilaku pendidik yang "terpaksa" harus "menyulap" nilai siswanya supaya memenuhi kriteria kelulusan.
Saat itu untuk menunjukkan pendidikan kita seolah-olah bermutu tinggi syarat kelulusan dibuat cukup berat, minimal rata-rata 6. Dengan persyaratan seperti itu sebenarnya banyak peserta ujian yang tidak lulus. Di lain pihak untuk menyukseskan program wajib belajar pemerintah menuntut agar angka tinggal kelas serendah mungkin, supaya bangku siswa kelas terakhir dapat diisi oleh siswa baru pada tahun berikutnya. Maka "digoyang"-lah nilai-nilai siswa tersebut, lebih dahsyat daripada goyangan Inul.

Banyak siswa kita "dipaksa" lulus. Siswa SMP dan SMA dengan Nilai Ebtanas Murni (NEM) Matematika 1,35 dapat lulus, karena setelah di-mark-up nilai P (rapor semester 5) dan Q (rapor semester 6) hingga mencapai angka 10, nilai akhirnya dapat mencapai angka 6. Rumus yang digunakan:
Nilai akhir = P + Q + nR ; contoh: 8 + 10 + 1,25(1,35) = 6,06.
2 + n 2 + 1,25

R = NEM; n = nilai konstan antara 1 - 2 yang ditetapkan setelah melihat hasil EBTANAS di provinsi. Semakin kecil NEM mata pelajaran tertentu, makin kecil pula n-nya.

Dari nilai P dan Q-nya, tampak seolah-olah sehari-harinya siswa tersebut sangat pintar dalam mata pelajaran matematika. Wajarkah siswa yang biasanya mendapat nilai 8 atau 10, tiba-tiba pada saat Ebtanas mendapat nilai 1,35? Guru yang sudah mengajar pada tahun 1980-an pasti tahu jawabannya. Sekarang mereka merasa pilu mengenang saat-saat berada dalam budaya "seolah-olah" ini, karena ketika tiba-tiba dimulainya budaya "kejujuran pendidikan" banyak yang terkejut.

Fenomena ini tanpa disadari ikut menurunkan mutu pendidikan secara perlahan-lahan. Para guru sering frustrasi menghadapi para siswa yang salah kaprah terhadap wajib belajar. Dengan alasan wajib belajar, para siswa yakin setiap tahun pasti naik kelas dan lulus ujian tanpa harus giat belajar. Padahal yang benar adalah untuk dapat naik kelas atau lulus ujian seorang siswa "wajib belajar". Kalau tidak belajar "berdosa", ganjarannya berupa tidak naik kelas atau tidak lulus.

Tragisnya, sampai sekarang kita belum tahu persis apa penyebab utama rendahnya mutu pendidikan itu. Rendahnya kesejahteraan guru sering dijadikan sebagai terdakwa utama. Namun kajian ilmiah tentang korelasi antara mutu pendidikan dan kesejahteraan guru belum banyak dilakukan. Belum ada standar kesejahteraan guru untuk mencapai tingkat mutu tertentu. Sehingga tuntutan peningkatan kesejahteraan guru selama ini terkesan emosional. Kendati demikian, dalam tulisan ini kesejahteraan guru, khususnya gaji, diasumsikan berperan penting dalam peningkatan mutu pendidikan.

Masalah dana pendidikan, termasuk kesejahteraan guru, telah menjadi komoditas politik pada acara kampanye setiap pemilu. Anggota legislatif hasil pemilu 1999 telah berhasil mengukir prestasi yuridis dengan mencantumkan ketentuan anggaran pendidikan dalam pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dan pasal 49 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam ketentuan ini, dinyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD.

Bagi pemerintah (pusat) ketentuan tersebut tidak jadi masalah. Dalam APBN 2004, anggaran pembangunan sub sektor pendidikan sudah sebesar 20% lebih (Rp 14, 3 trilyun) dari total pengeluaran pembangunan Rp 70,9 trilyun. Dengan sedikitnya kewenangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, pemerintah seperti kebingungan menggunakan dana pendidikan. Sehingga banyak kegiatan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota diambil alih pemerintah pusat.

Sementara kabupaten/kota yang memiliki sangat banyak kewenangan dan kewajiban, kemampuan keuangannya sangat terbatas. Ada kabupaten yang mengalokasikan belanja bidang pendidikan sebesar 33% lebih dari total APBD. Tetapi sekitar 76% (sekitar Rp 40-an milyar) dari jumlah itu digunakan untuk gaji guru PNS. Pemerintah daerah kebingungan mencari sumber dana untuk melaksanakan kewenangan lainnya di bidang pendidikan, seperti pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana serta peningkatan mutu pendidikan di daerahnya.

Keterbatasan dana membuat pemerintah daerah malah bersyukur kewenangannya diambil alih. Ketergantungan pada pemerintah pusat pun tak terelakkan. Posisi "tangan di bawah" ini membuat pemerintah daerah tak berdaya menolak kebijakan pusat sepahit empedu sekalipun, seperti kebijakan syarat kelulusan dengan nilai UAN harus di atas 4,00. Kebijakan ini sangat revolusioner dan labil. Sejak tahun 2002 sampai sekarang sudah tiga kali berubah, tanpa lebih dulu mengubah secara signifikan faktor-faktor pendukung peningkatan mutu pendidikan.

Pada UAN 2002, setiap daerah boleh menentukan sendiri nilai minimal untuk kelulusan siswa. Bagi pemerintah daerah yang peduli pada mutu pendidikan dapat merencanakannya bersama-sama dengan guru, siswa dan masyarakat. Secara gradual, perlahan tapi pasti, mutu pendidikan dan standar kelulusan dapat ditingkatkan atas kesepakatan sebelumnya, tanpa menjatuhkan korban.

Langkah-langkah untuk mencapai tingkat mutu tertentu harus dilakukan secara komprehensif. Input pendidikan yang sangat diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan, seperti sumber daya manusia (kepala sekolah, guru, pegawai sekolah, dan siswa), peralatan, uang, organisasi sekolah, perencanaan, dan sebagainya harus dibenahi.

Secara simultan diperbaiki juga proses pendidikan, seperti proses belajar mengajar, serta monitoring dan evaluasi. Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan penyerasian serta pemaduan input sekolah dilakukan secara harmonis. Sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik.

Proses yang menyenangkan akan menimbulkan kerinduan siswa pada bangku sekolahnya. Jangan sampai terjadi, suara gemuruh mesin TI (Tambang tanpa Izin) dan gemercik air sakan terdengar lebih merdu daripada bisikan ibu guru di kelas. Kebiasaan memukul rotan dan melempar penghapus papan tulis untuk memotivasi minat belajar siswa sudah saatnya diganti dengan media audio visual, atau kalau mampu komputer multi media! Atau sebaliknya media tradisional tapi sarat nilai kemanusiaan, yang telah terbukti berhasil berdasarkan pengalaman, kreasi, inovasi, dan improvisasi guru.

Peranan guru memang sangat dominan dalam proses pendidikan, terutama pada jenjang pendidikan dasar. Pengetahuan, pikiran, dan perasaan guru menjadi panutan para siswanya. Pendapat guru, kendati salah, akan diikuti oleh para siswa. Oleh karena itu profesionalisme guru benar-benar harus teruji dan terjamin agar output pendidikan juga terjamin mutunya.

Untuk menjamin mutu pendidikan nasional, pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan. Di setiap provinsi didirikan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP). Dengan adanya standar nasional mutu pendidikan, seyogyanya standar kualitas dan kesejahteraan guru juga dijamin secara nasional, karena telah diyakini bahwa guru merupakan faktor dominan dalam peningkatan mutu pendidikan.

Sekarang ini kualitas dan kesejahteraan guru sangat tergantung pada kemampuan masing-masing daerah. Bagi daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) besar, guru-gurunya lebih sejahtera karena Pemerintah Daerah mampu menambah insentif yang memadai.

Dalam pasal 49 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan "Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)". Seandainya gaji guru ini memang dibebankan pada APBN, sekurang-kurangnya ada dua keuntungan akan didapat.

Pertama, tingkat kesejahteraan guru relatif sama di seluruh Indonesia.
Kedua, dana APBD yang selama ini digunakan untuk gaji guru PNS dapat dialokasikan untuk pengadaan dan rehabilitasi sarana dan prasarana pendidikan, kesejahteraan guru non-PNS, serta kegiatan lainnya sesuai kewenangan daerah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Masalahnya, guru SD, SMP, dan SMA/SMK Negeri sekarang ini diangkat oleh Pemerintah Daerah. Kalau pengertian Pemerintah pada pasal 49 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 hanya "Pemerintah Pusat", maka pasal ini mubazir. Tidak bermakna, karena sejak diberlakukan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, tidak ada lagi guru yang diangkat Pemerintah (pusat).

Untuk melaksanakan amanat pasal 49 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003, diperlukan perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur guru. Di samping menyangkut gaji, peraturan baru tentang kewenangan pengangkatan guru diperlukan pula dalam melaksanakan pasal 41 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003: "Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah". Pasal ini sangat sulit dilaksanakan selama kewenangan pengangkatan dan penggajian guru ada di daerah. Dengan alasan tidak ada dana dalam APBD, kepindahan guru ke daerah lain sangat mudah ditolak.

Kepada anggota legislatif hasil pemilu 2004, khususnya yang mengusung tema pendidikan kita gantungkan harapan. Semoga berubah!

Sungailiat, 1 Mei 2004

























No comments: