Saturday, July 14, 2007

Ironi Anggaran Pendidikan


Setiap memasuki tahun ajaran baru banyak orang tua murid merasa 'bise kepala' (baca: pusing). Mereka terpaksa pontang-panting mencari uang untuk membayar biaya pendaftaran siswa baru, pakaian seragam sekolah, buku pelajaran, iuran bulanan Komite Sekolah, Sumbangan Awal Tahun dan lain-lain yang jumlahnya mencapai jutaan rupiah.
Tradisi menaikkan biaya sekolah pada setiap jenjang pendidikan telah menjauhkan rakyat kecil dari cita-cita proklamasi kemerdekaan: "mencerdaskan kehidupan bangsa". Rakyat yang berpenghasilan rendah sangat sulit mendapatkan pendidikan yang layak.

Ironisnya setiap tahun pula para anggota legislatif bersama eksekutif memperjuangkan peningkatan anggaran pendidikan dalam APBN maupun APBD, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Di dalam ketentuan ini, dinyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari APBN dan APBD.

Anggaran pembangunan sub sektor pendidikan dalam APBN 2004 sudah mencapai 20 % lebih (Rp 14, 3 triliun) dari total pengeluaran pembangunan Rp 70,9 triliun. Sedangkan untuk APBD, masing-masing daerah bervariasi sesuai kemampuan keuangannya. Ada kabupaten yang mengalokasikan belanja bidang pendidikan sebesar 33 % lebih dari total APBD.
Tetapi biaya pendidikan di sekolah pemerintah (negeri) masih sangat memberatkan rakyat, terutama bagi yang tidak/kurang mampu. Kendati anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD meningkat, rakyat masih harus membayar mahal biaya sekolah.

Paling tidak, ada tiga kemungkinan alasan belum terasanya dampak positif kenaikan anggaran pendidikan terhadap rakyat kecil.

Pertama, dana dalam APBN diprioritaskan untuk kegiatan-kegiatan yang tidak sesuai dengan kebutuhan nyata penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sehingga kenaikan anggaran pendidikan itu tidak mengurangi kewajiban masyarakat menanggung biaya pendidikan.

Kedua, anggaran pendidikan dalam APBD sebagian besar dialokasikan untuk membayar gaji guru PNS. Bagi daerah yang Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya kecil, tidak dapat berbuat banyak dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan pengelola sekolah.

Ketiga, para pengelola sekolah, terutama di sekolah favorit, terlalu bernafsu untuk meningkatkan kesejahteraannya tanpa mempertimbangkan kemampuan orang tua murid. Celakanya lagi kalau Pengurus Komite Sekolah-nya tidak populis, fungsinya tidak lebih dari sekadar BP3 alias Badan Penyelenggara Pembubuhan Paraf belaka. Apapun program sekolah direkomendasikan untuk didukung dengan menghimpun dana dari orang tua murid secara sama rata sama rasa.

Pada umumnya Anggaran Belanja Sekolah (ABS) yang bersumber dari iuran orang tua murid dialokasikan untuk tujuh kegiatan pokok. Salah satu SMA Negeri favorit di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung misalnya, mengalokasikan: (1) Honor/tunjangan guru dan pegawai (PNS dan Non-PNS) sebesar 45,03 %; (2) Kegiatan Belajar Mengajar sebesar 16,32 %; (3) Ekstrakurikuler sebesar 3,67 %; (4) Transportasi/Akomodasi sebesar 6,59 %; (5) Lain-lain sebesar 5,22 %; (6) Iuran Pembinaan sebesar 1,26 %; dan (7) Pembangunan/pengadaan/perawatan sarana dan prasarana sekolah sebesar 21,90 %.

Untuk ketujuh kegiatan pokok tersebut sekolah favorit ini memerlukan dukungan dana dari orang tua murid berupa iuran bulanan Rp 45.000,00/siswa dan Sumbangan Awal Tahun Siswa Baru sebesar Rp 300.000,00/siswa. Bagi yang mengikuti program komputer dikenakan biaya tambahan. Khusus kelas III diminta lagi biaya program perbaikan dan pengayaan.

Dari contoh ABS salah satu SMA Negeri di atas ternyata dana orang tua murid yang dihimpun melalui Komite Sekolah sebagian besar (45,03 %) digunakan untuk peningkatan kesejahteraan guru dan pegawai sekolah berupa honor, insentif, tunjangan tugas tertentu, Tunjangan Hari Raya (THR), dan lain-lain.

Besarnya kebutuhan honor/tunjangan guru dan pegawai di sekolah-sekolah negeri disebabkan antara lain:
1. Kekurangan guru dan pegawai PNS, sehingga masih sangat diperlukan bantuan guru honorer dan guru bantu serta pegawai tidak tetap (honorer). Guru PNS yang ada juga harus mengajar lebih dari 18 jam pelajaran sebagai kewajibannya.

2. Tunjangan jabatan fungsional dari pemerintah, baik untuk Kepala Sekolah maupun guru biasa, dirasakan terlalu kecil. Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 3 Tahun 2003 tentang Tunjangan Tenaga Kependidikan, tunjangan guru golongan III sebesar Rp 206.250,00. Sedangkan tunjangan guru golongan IV yang diberi tugas tambahan sebagai Kepala SMA sebesar Rp 487.500,00.

3. Selain melaksanakan kegiatan pembelajaran, seorang guru diberi tugas tertentu untuk menunjang kelancaran proses belajar-mengajar, seperti Wakil Kepala Sekolah, Wali Kelas, Guru Piket, Pembinaan Ekstrakurikuler, dan sebagainya. Supaya tugas-tugas tersebut terlaksana dengan baik perlu diberikan insentif yang memadai.

Untuk tambahan penghasilan bagi guru honorer, guru bantu, dan kelebihan jam mengajar guru PNS sebenarnya sudah dianggarkan dalam APBN. Di beberapa kabupaten/kota guru honorer dan guru PNS diberikan juga insentif dari APBD. Tetapi dirasakan masih belum cukup dibandingkan beratnya tugas guru dan mahalnya harga barang-barang saat ini. Oleh karena itu para pengelola sekolah setiap tahun tetap minta dukungan dana dari orang tua murid.

Kepala Sekolah yang merasa tugasnya lebih berat daripada Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota menginginkan tunjangan jabatannya lebih besar atau setara dengan tunjangan jabatan Kepala Dinas sebesar Rp 1.500.000,00/bulan. Untuk itu diprogramkanlah dalam ABS tambahan tunjangan Kepala Sekolah sebesar Rp 600.000,00 hingga Rp 1.000.000,00. Ketua Komite Sekolah biasanya setuju saja, karena beliau tergolong mampu. Yang 'bise kepala' adalah orang miskin.

Demikian pula dengan pengadaan dan perawatan sarana dan prasarana pendidikan, cukup banyak dana yang dikucurkan pemerintah pusat ke beberapa sekolah pilihan dengan nama macam-macam, seperti Dana Bantuan Langsung, Dana Imbal Swadaya, dan sebagainya. Setiap tahun lebih dari 70 milyar rupiah dana dekonsentrasi dan Dana Alokasi Khusus bidang pendidikan mengalir di negeri serumpun sebalai. Namun penggunaannya lagi-lagi tidak untuk hal-hal yang dapat meringankan beban orang tua murid.

Dengan dalih otonomi sekolah yang divisualisasikan dalam bentuk manajemen berbasis sekolah (MBS), gilanya penghimpunan dana melalui Komite Sekolah ini bukan saja sah, tetapi juga sangat dianjurkan. Besarnya dana yang terkumpul diartikan sebagai tingginya kepedulian masyarakat terhadap pendidikan.

Dalam konsep MBS, sesungguhnya peranan Komite Sekolah bukan sekadar lembaga legitimasi pengumpulan dana dari orang tua, melainkan juga memberi sumbangan pemikiran dan gagasan lain yang dapat mendorong sekolah untuk mencapai jenjang mutu yang diinginkan masyarakat. Komite Sekolah juga ikut bertanggung jawab dalam perencanaan pembangunan pendidikan di sekolah. Dengan demikian seyogyanya Komite Sekolah dapat menyarankan prioritas kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan dan tidak harus selalu membebani orang tua murid.

Memang menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 12 ayat (2) "setiap peserta didik berkewajiban: … b. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku".

Lantas untuk apa kita menuntut peningkatan anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD kalau segala lara masih diletakkan di pundak rakyat jelata?
Barangkali di istana negara ada jawabnya. Coba kita bertanya pada kursi dewan yang bergoyang!

Sungailiat, 22 Agustus 2004


Surtam A Amin
Jl.Sinar Baru No.24
Sungailiat Bangka






























No comments: