Saturday, July 14, 2007

Mengikis Utopis Sekolah Gratis

Sampai sekarang rakyat Indonesia masih merasa eksistensi sekolah gratis sebagai suatu utopis. Janji-janji "sekolah gratis" yang diumbar pada setiap kampanye pemilu terdengar sangat memilukan sekaligus memalukan.

Kalimat yang tertulis dalam pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN): "Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun" terdengar sebagai retorika belaka.

Pemerintah Orde Baru pernah berani menjanjikan: "Pada jenjang pendidikan yang dikenakan ketentuan wajib belajar, biaya penyelenggaraan pendidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah merupakan tanggung jawab Pemerintah, sehingga peserta didik tidak dikenakan kewajiban untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan." (Penjelasan pasal 25 ayat (1) butir 1 UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang kini diganti dengan UU No. 20 tahun 2003).

Secara formal sejak tahun 1996 Pemerintah Orde Baru telah membebaskan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) dari tingkat SD sampai dengan SLTA. Di mata dunia internasional seolah-olah rakyat Indonesia sudah menikmati sekolah gratis. Namun kenyataannya, biaya sekolah (iyuran BP3/Komite Sekolah) jauh lebih tinggi daripada SPP.

Dengan disahkannya UUSPN oleh Presiden Megawati pada tanggal 8 Juli 2003, harapan akan mendapatkan sekolah gratis makin jauh dari kenyataan. UUSPN pasal 12 ayat (2) secara tegas menyatakan: "Setiap peserta didik berkewajiban: …. b. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan…"

Pasal 49 ayat (1) UUSPN menetapkan: "Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 % dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 % dari APBD." Idealnya, dengan besarnya dana pendidikan yang dialokasikan dalam APBN dan APBD, beban yang harus ditanggung rakyat makin berkurang atau bahkan ditiadakan. Dalam UUSPN tak satu pun pasal yang mengindikasikan adanya sekolah gratis di Indonesia. Dalam hal komitmen di bidang pendidikan, ternyata pemerintah di era reformasi tidak lebih populis ketimbang pemerintah Orde Baru.

Di tengah punahnya harapan rakyat mendapatkan sekolah gratis, dari bumi "Sepintu Sedulang" berhembus angin surga. Bupati Bangka berkeinginan mulai tahun 2005 akan membebaskan 'uang sekolah' (atau nama lainnya) pada jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP).

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka telah memaparkan strateginya. Beberapa alternatif dikemukakan, disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. Alternatif terburuk adalah membebaskan uang sekolah secara bertahap, mulai dari tingkat SD di daerah yang tertinggi angka Keluarga Prasejahtera dan Sejahtera I.

Hasil pengkajian sektor pendidikan yang dilakukan oleh Tim Jaringan Penelitian Pendidikan (Jarlit) Kabupaten Bangka di bawah koordinasi Bapeda Kabupaten Bangka, menampilkan profil pendidikan di Kabupaten Bangka Tahun 2003 bahwa baik dari aspek pemerataan, mutu, maupun efisiensi internal pendidikan masih cukup rendah (di bawah standar pelayanan minimal (SPM) bidang pendidikan yang ditetapkan Depdiknas).

Rendahnya aspek pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan diindikasikan oleh angka partisipasi murni (APM) SD/MI/Paket A sebesar 74,79 % (SPM: 95 %), angka transisi (AT) SMP/MTs/Paket B sebesar 78,65 % (SPM: 95 %), dan AT SMA/SMK/MA sebesar 50,66 % (SPM: 70 %).

Mutu pendidikan masih belum memuaskan, yang diindikasikan oleh rerata nilai ujian akhir SD/MI sebesar 6,40 serta nilai ujian akhir nasional SMP/MTs sebesar 5,98 dan SMA/SMK/MA sebesar 6,14. Dalam SPM tidak ditentukan angkanya, hanya ditetapkan 90 persen dari siswa yang mengikuti uji sampel mutu pendidikan standar nasional mencapai nilai "memuaskan" dalam mata pelajatan tertentu.

Dari aspek efisiensi pendidikan, untuk tingkat SMP/MTs dan SMA/SMK/MA masih kurang efisien yang diindikasikan oleh angka putus sekolah (APS) sebesar 2,36 % untuk tingkat SMP/MTs (SPM: tidak melebihi 1 %), dan 6,30 % untuk tingkat SMA/SMK/MA (SPM: tidak melebihi 1 %). Sedangkan untuk tingkat SD/MI sudah di bawah SPM, hanya 0,80 %, namun terdapat 3 kecamatan APS-nya di atas angka kabupaten.

Dari identifikasi Tim Jarlit terhadap faktor-faktor yang diduga mempengaruhi aspek pemerataan, mutu dan efisiensi pendidikan di Kabupaten Bangka, tampaklah bahwa faktor rendahnya kemampuan ekonomi orang tua cukup berpengaruh terhadap kinerja sektor pendidikan. Di kecamatan-kecamatan yang memiliki angka Keluarga Prasejahtera dan Sejahtera I alasan ekonomi tinggi (di atas rerata kabupaten), diketahui hampir di setiap jenjang pendidikan bermasalah dalam ketiga aspek yang dikaji.

Memperhatikan hasil kajian Tim Jarlit Kabupaten Bangka tersebut, sudah wajarlah apabila Bupati Bangka mulai tahun 2005 secara bertahap menerapkan kebijakan pembebasan uang sekolah, terutama pada jenjang pendidikan dasar di kecamatan-kecamatan yang rendah kemampuan ekonominya.

Kendalanya sekarang terletak pada kemampuan keuangan daerah dan kemungkinan kesinambungannya. Jangan sampai kebijakan yang diambil Bupati sekarang tidak dapat dilanjutkan oleh Bupati berikutnya, yang mungkin kurang peduli pada bidang pendidikan. Dalam hal ini perlu adanya dukungan yuridis dan politis dari DPRD.

Sebenarnya pintu menuju ke arah sekolah gratis sudah terbuka. Dalam pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dan pasal 49 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari APBN dan APBD.

Tetapi belum ada kemauan bersama untuk secara sungguh-sungguh menangani masalah pendanaan. Pemerintah pusat sampai saat ini belum mampu mengalokasikan dana pendidikan sesuai amanat konstitusi tersebut. Padahal Kabupaten Bangka pada tahun anggaran 2004 telah mengalokasikan dana untuk sektor pendidikan sebesar Rp 55.643.095.600,00 atau 31,95 % dari total APBD Rp 174.152.697.800,00. Dari alokasi dana pendidikan tersebut digunakan untuk gaji dan tunjangan pegawai (termasuk gaji guru PNS) sebesar Rp 45.361.500.600,00 (81,52 %) atau sebesar 26,05 % dari total APBD.

Seandainya Pemerintah pusat mau berbagi beban menanggung gaji guru PNS, dengan alokasi dana 31,95 % atau sebesar 20 % saja dari APBD itu akan sangat banyak yang dapat dilakukan Pemerintah Daerah dalam meringankan beban rakyat di bidang pendidikan.

Sekarang tinggal menunggu sikap Pemerintah pusat dalam memahami Pasal 49 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menegaskan "Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)". Sudikah Pemerintah pusat (Depdiknas) memperjuangkan anggaran pendidikan untuk 'proyek' gaji guru yang tak ada 'ujung'-nya itu?

Kepada para anggota DPD kita gantungkan harapan untuk memperjuangkan aspirasi daerah. Semoga eksistensi sekolah gratis tidak sekadar utopis!

Sungailiat, 21 Desember 2004

Surtam A Amin
Jl.Sinar Baru No. 24
Sungailiat Bangka 33212
HP 081367660525

















No comments: