Saturday, July 14, 2007

Anarki Otonomi Sekolah

Sekitar tahun 400-an sebelum masehi, Plato mengemukakan teori bentuk-bentuk pemerintahan negara mulai dari aristokrasi, timokrasi, oligarki, demokrasi, anarki, dan tyranni.
Dalam pemerintahan demokrasi prinsip yang diutamakan adalah kemerdekaan atau kebebasan. Tetapi karena kemudian kebebasan ini sangat didewa-dewakan timbullah penyalahgunaan. Timbullah kebebasan yang tidak terbatas, orang ingin bebas sebebas-bebasnya. Keadaan demikian ini disebut anarki, yaitu keadaan setiap orang dapat berbuat sesuka hatinya. Orang tidak mau lagi diatur, tidak lagi mau diperintah karena orang ingin mengatur dan memerintah dirinya sendiri.

Proses revolusi sistem demokrasi menjadi anarki saat ini sedang berlangsung di lingkungan pendidikan.

Seiring dengan reformasi bidang politik yang melahirkan otonomi daerah, di bidang pendidikan pun terjadi perubahan fungsi sekolah dari subordinasi menjadi otonomi. Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.

Pada pola ini, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan lembaganya, pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif dan partisipasi masyarakat makin besar, regulasi pendidikan lebih sederhana, penggunaan uang lebih efisien karena sisa anggaran tahun ini dapat digunakan untuk anggaran tahun depan. Kepala Sekolah lebih bebas mengatur strategi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah masing-masing.

Kendati secara formal belum ada "legal aspect" otonomi sekolah, biasanya aspek-aspek yang sering digarap dalam rangka otonomi ini meliputi: (1) perencanaan dan evaluasi program sekolah; (2) pengelolaan kurikulum; (3) pengelolaan proses belajar mengajar; (4) pengelolaan ketenagaan; (5) pengelolaan peralatan dan perlengkapan; (6) pengelolaan keuangan; (7) pelayanan siswa; (8) hubungan sekolah-masyarakat; dan (9) pengelolaan iklim sekolah.

Otonomi sekolah telah memacu inovasi dan kreasi para Kepala Sekolah dalam memajukan sekolah yang dipimpinnya, termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional. Penyelenggaraan pendidikan tidak lagi dilakukan secara birokratik-sentralistik, sehingga kebijakan pengembangan sekolah lebih sesuai dengan kondisi setempat. Hasil pelaksanaan pendidikan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, khususnya orangtua siswa, sebagai salah satu unsur utama yang berkepentingan dengan pendidikan.

Makin melemahnya kontrol birokrasi pendidikan terhadap sekolah memberi peluang sangat luas bagi para Kepala Sekolah untuk berbuat sesuka hatinya. Mereka tidak mau lagi diatur, tidak lagi mau diperintah. Para Kepala Sekolah ingin mengatur dan memerintah dirinya sendiri.
Banyak peraturan yang dikeluarkan pemerintah, mulai dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Provinsi, dan bahkan Depdiknas tidak digubris para oknum Kepala Sekolah. Peraturan-peraturan yang secara transparan dilanggar oleh oknum Kepala Sekolah antara lain mengenai pakaian seragam sekolah, penjualan buku pelajaran, dan pungutan uang sekolah (baca: komite sekolah). Padahal peraturan-peraturan tersebut dikeluarkan untuk meringankan beban rakyat, agar seluruh rakyat negeri ini dapat menikmati pendidikan sebagaimana dicita-citakan para pendiri negara ketika memproklamasikan kemerdekaan 61 tahun silam.

Pada masa Orde Baru, Depdikbud mengeluarkan peraturan tentang pakaian seragam sekolah hanya satu jenis pada setiap jenjang pendidikan agar tidak memberatkan orangtua siswa. Sampai sekarang peraturan tersebut belum dicabut. Namun dengan alasan otonomi sekolah tidak sedikit oknum Kepala Sekolah mewajibkan para siswanya memakai seragam tambahan berupa pakaian batik, busana muslim, dan sebagainya. Pakaian seragam tambahan ini tentu saja menambah berat beban orangtua siswa, terutama yang berpenghasilan rendah (mungkin termasuk guru yang tidak diberi tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah?).

Pada tanggal 21 Juli 2005 Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) secara heroik mengancam para guru yang berjualan buku kepada muridnya di sekolah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran. Kenyataannya: Mendiknas melarang, guru tetap jualan buku. Salah satu berita Bangka Pos 8 Agustus 2006 menunjukkan betapa beraninya oknum guru coba-coba melanggar Peraturan Mendiknas tersebut dengan dalih "tidak diwajibkan hanya menganjurkan orang tua mengingat anaknya sedang persiapan di kelas tiga, tujuannya untuk mempermudah para siswa itu sendiri". Padahal pasal 9 Peraturan Mendiknas Nomor 11 Tahun 2005 sangat jelas menegaskan "Guru, tenaga kependidikan, satuan pendidikan, atau komite sekolah tidak dibenarkan melakukan penjualan buku kepada peserta didik".

Kalau saja Bangka Pos lebih berminat lagi melakukan investigasi, modus operandi lain dalam peredaran buku pelajaran di sekolah akan terkuak.
Modus operandi peredaran buku pelajaran di sekolah dapat diidentifikasi mulai dari cara kasar sampai yang paling lembut. Cara kasar dilakukan para guru dengan membagikan buku pelajaran atau dengan nama lain seperti LKS, kepada semua siswa melalui ketua kelas; awal bulan berikutnya baru ditagih. Cara lain, guru mendaftarkan para siswa yang memesan buku untuk dibelikan secara kolektif. Yang lebih lembut, guru membagikan kupon pesanan buku agar para siswa membeli sendiri buku di toko yang tertera pada kupon pemesanan. Dengan cara seperti ini tak seorang pun guru di Republik Indonesia dapat didakwa berjualan buku.

Guru kita, sang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, tidak pernah sama sekali memaksa muridnya membeli buku. Guru kita hanya menyuruh muridnya belajar mandiri, tidak boleh mengintip buku temannya. Guru kita hanya memberi tugas PR agar siswanya menjawab soal-soal dalam buku yang ditunjuk guru dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, sehingga tidak memungkinkan seorang siswa miskin dapat meminjam buku kepada temannya yang mampu beli buku. Buku adalah sumber ilmu. Kalau ingin lulus ujian nasional harus belajar dari buku yang berkualitas. Buku berkualitas adalah buku yang didistribusikan dengan komisi pantas. Standar buku berkualitas setiap tahun dapat berubah, tergantung tinggi rendahnya komisi yang ditawarkan!

Sebuah pengorbanan besar telah dilakukan rakyat Indonesia. Rakyat merelakan kenaikan harga BBM dengan alasan dana subsidi sangat diperlukan untuk membantu rakyat miskin menggapai pelayanan pendidikan, kesehatan dan sebagainya.

Mulai Juli 2005 dana kompensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak bidang pendidikan diberikan dalam bentuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM). Tujuannya agar semua warga negara dapat bersekolah tanpa susah-susah memikirkan biaya. Masih kecilnya dana BOS dari pemerintah pusat, mendorong pemerintah daerah menambah dana pendidikan dalam APBD masing-masing, sehingga seluruh siswa benar-benar (bukan sekadar slogan!) tidak perlu membayar uang sekolah atau dengan nama lain (iuran komite, sumbangan suka rela, dsb.). Bagi daerah yang belum memungkinkan dana APBD-nya, disarankan uang sekolah tidak terlalu tinggi, maksimal seperti tahun lalu dikurangi dana BOS.
Ironisnya, ketika daerah-daerah lain di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sudah mencanangkan akan membebaskan siswa SMA dari uang sekolah mulai tahun 2007, di Kota "Adipura" Sungailiat awal tahun ajaran 2006/2007 ini ada oknum Kepala Sekolah malah menaikkan uang sekolah dan uang sumbangan awal tahun.. Seorang Kepala SMP yang baru sebulan dilantik berhasil menaikkan uang sekolah sampai 133,33 % dari tahun ajaran 2005/2006. Prestasi gemilang menggalang partisipasi masyarakat!

Menyaksikan atraksi para oknum Kepala Sekolah yang secara transparan tidak mengindahkan berbagai peraturan perundang-undangan kependidikan yang berlaku, saya pesimis terhadap perkembangan pendidikan di negeri serumpun sebalai ini. Kehadiran "SMS Peduli Pendidikan" yang diluncurkan Dewan Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tidak akan bermakna, kalau para guru (terutama Kepala Sekolah) tidak peduli terhadap penderitaan rakyat!

Sungailiat, 10 Agustus 2006
Surtam A Amin
Peminat masalah pendidikan


No comments: